Institusi Kejaksaan punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan langsung terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang. Pertanyaannya adalah apakah institusi Kejaksaan mempunyai kompetensi yang cukup untuk menentukan tindak pidana korupsi? Setahu saya, korupsi berhubungan dengan masalah auditor finansial, sedangkan Jaksa background-nya adalah hukum. Apakah dasar Kejaksaan dalam menentukan seseorang melakukan tindak pidana korupsi? Apakah Jaksa wajib selalu menggunakan hasil auditor BPK ataukah dapat mengunakan alat bukti lainnya ?
SEMA No : 4 Tahun 2016 menjelaskan bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengatakan, daya ikat SEMA biasanya memang tidak lebih kuat daripada peraturan di atasnya. Tapi, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dan mengatur hal-hal yang belum diatur, SEMA harus dilaksanakan. “Jangan hanya jadi law in the book, tapi harus law in action,” katanya.
Menurut dia, jajaran MA Agung dalam memutus perkara harus berpedoman pada peraturan perundangan dan aturan lain, termasuk SEMA. Jika SEMA tidak diimplementasikan, akan timbul kesia-siaan.
Juru Bicara MA Suhadi menegaskan, untuk kasus baru, hakim harus berpedoman pada SEMA tersebut. Termasuk untuk penggunaan audit kerugian negara oleh BPK. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghilangkan frasa “dapat” dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Menurut Suhadi, korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materiil.
SEMA 4/2016 memang mengatur, salah satunya, lembaga yang berwenang menentukan audit kerugian keuangan negara. Secara konstitusional, lembaga tersebut ialah BPK. Bukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mengapa SEMA 4/2016 dibuat ? Suhadi menjelaskan latar belakangnya. Menurut dia, dalam praktik peradilan selama ini, kerugian negara versi BPK dan BPKP sering berbeda. Sebagai pelaksana undang-undang, MA lantas mengambil sikap. Yakni, menerbitkan SEMA 4/2016.
“Tidak boleh ada perbedaan. Apalagi setelah adanya putusan MK, unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata atau pasti,” katanya.
SEMA 4/2016 merupakan jawaban untuk para pencari keadilan yang butuh persamaan pandangan di pengadilan. MA tidak ingin ada kesan bahwa terdakwa dirugikan karena menggunakan audit dari BPKP, bukan BPK. Karena itu, dasar perhitungan kerugian keuangan negara harus sudah pasti sejak penyidikan.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menambahkan, SEMA menjadi semacam guidance bagi hakim tanpa mengurangi independensi pengadil. Sebab, dalam praktiknya proses pengadilan, menurut dia, banyak yang tidak jelas karena belum satu suara. ”Itulah kenapa kamar pidana melakukan pleno supaya tidak ada perbedaan,” jelasnya.
Hal itu perlu diatur karena saat ini banyak second opinion yang muncul, ahli-ahli baru, sampai auditor baru. MA, lanjut Ridwan, ingin mengembalikan lagi kewenangan sesuai konstitusi. “Terhadap penghitungan kerugian uang negara, wewenangnya diputuskan ada pada BPK,” tegas dia.
Selama sidang praperadilan berjalan, saksi ahli hukum pidana juga menegaskan hal yang sama. Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno, SEMA 4/2016 merupakan penegasan atas ketidakkonsistenan putusan peradilan selama ini.
”Sebenarnya selama ini tak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada lembaga lain untuk melakukan audit kerugian negara. Hanya BPK yang berwenang,” ujar Nur.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud Nur adalah UU 17/2003 tentang Keuangan Negara; UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; serta UU 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Semua peraturan itu dengan gamblang menyebut BPK sebagai pihak yang berwenang mengaudit kerugian negara.
Nur paham betul soal kewenangan audit kerugian Negara. Sebab, persoalan itu memang bagian dari disertasinya. Menurut dia, penegak hukum selama ini menggunakan audit kerugian negara dari lembaga lain, termasuk BPKP, hanya atas dasar MoU. Nah, MoU dari sisi hukum administrasi negara tidak bisa menimbulkan sebuah kewenangan.
Atas dasar itulah, hadirnya SEMA 4/2016 memberikan kepastian hukum. SEMA tersebut juga tidak tiba-tiba muncul. Jauh sebelumnya, yakni 27 Juli 2012, MA sudah mengeluarkan fatwa 068/KMA/AK.01/VII/2012. Fatwa itu juga menegaskan bahwa hanya BPK yang berwenang menentukan kerugian negara.
“Jadi, audit kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak ada dasar hukumnya sama sekali,” tegasnya. Dari sejarahnya, BPKP dibentuk berdasar Perpres 110/2001 dan hanya berfungsi membantu SKPD untuk menyiapkan laporan pertanggungjawaban keuangan.
Laporan pertanggungjawaban itulah yang akan diaudit BPK. “Jadi aneh kalau BPKP melakukan audit. Sebab, di satu sisi sebagai pengawas. Kalau terjadi korupsi, berarti pengawasnya harus dipertanggungjawabkan karena tidak mengawasi dengan baik,” terangnya.
Sejak keluarnya SEMA 4/2016, penegak hokum, termasuk penyidik, tentu tak bisa lagi memaksakan hasil audit BPKP. Sebab, sudah ada penegasan bahwa hanya BPK yang berwenang mengaudit kerugian negara.
Begitu juga hasil audit BPKP yang digunakan untuk menjerat Dahlan Iskan. Audit itu harus diabaikan dan dianggap tidak sah karena tidak ada dasar wewenangnya. “SEMA itu diterbitkan juga sebagai petunjuk bagi majelis hakim yang memeriksa suatu perkara,” katanya.
Dr Chairul Huda, punya pendapat yang sama. Meski bersifat internal, SEMA juga berpengaruh bagi penyidik. Termasuk yang menangani kasus korupsi. Sebab, SEMA itu berkaitan dengan penerapan pasal-pasal di UU Pemberantasan Tipikor.
Menurut Chairul, jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal-pasal yang menyebutkan kerugian keuangan negara, barang bukti audit kerugian negara harus mutlak ada. Siapa yang menentukan audit kerugian negara? Tentu harus sesuai dengan SEMA 4/2016, yakni BPK. Bukan BPKP atau lembaga auditor lain. “Jadi, SEMA harus menjadi acuan,” terangnya.
Berangkat dari hal diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan, apakah kasus Damkar Depok yang sempat heboh baru – baru ini, ada kerugian negaranya ?, apalagi katanya terjadi tahun 2017 sd 2018 dan tahun 2019, kalau hasil audit BPK mengatakan tidak ada kerugian negara maka saran Saya sebaiknya APH menghentikan pemanggilan pihak – pihak yang menggunakan uang negara tersebut, karena hanya buang – buang waktu atau tidak ada manfaatnya, sebab jelas dalam SEMA No.44/tahun 2016 sudah jelas bahwa Instansi yang berwenang menetapkan ada kerugian negara hanya BPK.