Gresik | mediasinarpagigroup.com – Aliansi Wartawan dan LSM Gresik Selatan (WaGs) menanggapi adanya sekelompok wartawan yang mengatasnamakan Komunitas Wartawan di Kabupaten Gresik yang seolah sebagai tameng terhadap para kepala desa (kades) di Kabupaten Gresik. Dalam pernyataannya, komunitas tersebut mengajak para Kades agar tidak takut terhadap ancaman LSM maupun wartawan yang disebut mereka wartawan abal-abal.
Efianto selalu Ketua WaGs heran dengan pernyataan dari komunitas tersebut. Sebab, komunitas tersebut tidak menyebutkan secara rinci seperti apa klasifikasi LSM maupun wartawan abal-abal. Efianto bahkan bertanya, yang disebut wartawan dan LSM abal-abal apakah tidak memiliki media atau legalitas resmi, atau sekadar mengaku sebagai wartawan dan LSM yang tidak memiliki legalitas resmi yang diakui negara.
“Kami dukung pernyataan komunitas wartawan tersebut jika ada pihak-pihak yang mengatasnamakan wartawan atau LSM yang menintimidasi para Kades dengan tujuan tertentu untuk kepentingan pribadi disebut abal-abal. Tapi jika punya legalitas resmi serta tujuannya membantu penegak hukum mengungkap penyimpangan dana desa atau anggaran desa yang dilakukan oleh oknum Kades atau perangkat desa, maka kepada semua wartawan agar jangan takut memberitakan selama sesuai dengan kaidah jurnalistik. Dan bagi LSM, jangan takut melaporkan jika menemukan indikasi penyimpangan anggaran negara,” tegas Efianto.
Efianto mengatakan, wartawan dalam melakukan konfirmasi ke narasumber dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dilakukan dengan mendatangi langsung narasumber yang dimaksud, bisa melalui sambungan telpon, hingga bersurat secara resmi. Namun, konfirmasi secara bersurat tersebut dianggap meresahkan para oknum Kades. Padahal, ada Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang jadi acuan agar ada keterbukaan informasi bisa berjalan dengan baik dan tidak ada yang disembunyikan termasuk penggunaan anggaran desa yang bersumber dari APBD atau APBN.
“Jika bersurat untuk konfirmasi tentang data yang ditemukan oleh redaksi media apakah itu salah? Semisal konfirmasi tanpa tenggat waktu untuk menjawab. Jika pihak yang dikonfirmasi tidak menjawab hingga setahun lamanya, apakah wartawan tidak mau menulis temuannya selama setahun sambil menunggu jawaban surat tersebut. Justru, setiap redaksi punya tenggat waktu untuk merilis temuannya dengan terlebih dahulu konfirmasi ke pihak terkait dengan batas waktu supaya berita yang ditayangkan berimbang atau cover both side. Disini perlu saya tekankan, jangan cuma jadi wartawan rilis, tapi wartawan itu harus kritis. Gali informasi sebanyak mungkin di lapangan, bukan cuma jadi corong instansi tertentu,” tegasnya.
Hal lain yang ditanggapi Efianto ialah peran LSM dalam mengungkap tindak pidana korupsi khususnya yang dilakukan oleh oknum Kades atau perangkat desa. Tak sedikit para oknum Kades yang terbukti korupsi dan gratifikasi berkat laporan dari LSM.
Dijelaskan Efianto, peran serta masyarakat memberantas korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5), yang menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Peraturan Pemerintah yang dimaksud ialah PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Masyarakat dapat membuat laporan terkait adanya dugaan korupsi kepada penegak hukum atau pejabat yang berwenang secara lisan atau tertulis, baik melalui media elektronik maupun non-elektronik. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan pelaporan tersebut. Pemerintah menjamin peran masyarakat ini dengan memberikan hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari penegak hukum. Jika Kejari Gresik tidak mau menindaklanjuti laporan masyarakat karena sudah ada MoU dengan para Kades di Gresik, bisa laporkan ke Kejati Jatim, sampai Kejagung. Jika perlu, laporkan ke Jamwas dan Komisi Kejaksaan,” tegas Efianto.
“Korupsi tidak hanya merugikan segelintir orang di negara ini. Beberapa kasus korupsi bahkan berdampak buruk bagi hajat hidup orang banyak. Maka dari itu, peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan untuk menghindari kerugian yang sangat besar. Sekecil apapun kontribusi tersebut akan sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pelaporan masyarakat merupakan penyumbang terbesar dalam terbongkarnya kasus-kasus korupsi di Gresik, mulai dari kasus kecil hingga kakap. Maka dari itu, peran masyarakat dalam pelaporan tindak pidana korupsi sangat penting. LSM jangan takut untuk melaporkan,” lanjut Efianto.
Efianto mencontohkan, beberapa oknum Kades di Gresik yang terbukti korupsi berdasarkan laporan masyarakat. Diantaranya Mudlokhan selaku Kades Dukun yang diduga melakukan korupsi dana APBDes tahun 2021 hingga ratusan juta rupiah.
Lalu ada Kades Roomo non aktif, Rusdianto, yang divonis hukuman penjara 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti penyalahgunaan anggaran Pemerintahan Desa Roomo tahun 2016-2018, dan uang yang dikembalikan sebesar Rp 270 juta.
Kemudian Suropadi selaku mantan Camat Duduksampeyan yang divonis hukuman 8 tahun penjara. Ada lagi Kunari, mantan Kades Pasinan yang divonis setahun penjara dan denda RP 50 juta. Lalu Mat jai, mantan Kades Dooro divonis selama 2 tahun penjara, dan denda Rp. 50 juta subsidair 3 bulan karena terbukti korupsi, dan masih banyak lagi.
“Kami harapkan, Kejari Gresik profesional dalam penanganan dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat. Jangan tersandera oleh MoU dengan para Kades karena oknum Kades tersebut sedang cari perlindungan dari perbuatannya termasuk minta perlindungan ke Komunitas Wartawan di Gresik,” katanya.
Terakhir pernyataannya, Efianto menyindir, perbandingan wartawan yang telah lulus UKW (uji kompetensi wartawan) dengan yang belum mengikuti UKW seperti yang disampaikan segerombolan wartawan yang mengatasnamakan Komunitas Wartawan di Gresik. Kata Efianto, kualitas wartawan pada umumnya tidak ditentukan oleh UKW, melainkan cara memperoleh informasi kemudian meramunya menjadi pemberitaan yang layak di masyarakat sesuai kaidah jurnalistik dengan tidak mengindahkan kode etik wartawan.
“Banyak teman wartawan di lapangan yang belum mengikuti UKW, kadang tulisan di medianya sering jadi rujukan sebagai referensi dalam mengambil kebijakan. Itu bukti bahwa UKW atau belum tidak menentukan kualitas,” katanya.(M.Aqtoris)