Banyumas | mediasinarpagigroup.com – Siapa yang tidak kenal Bambang Set seniman Banyumas yang kerap membuat kejutan-kejutan yang kontroversial adalah seniman serba bisa. Set menggeluti seni rupa khususnya seni lukis, lalu teater dan menggelegar sebagai penyair diskotek. (Abdul Wachid BS “Pencarian Puisi Manager Diskotik” Minggu Pagi, 1977)
Bambang Set, lengkapnya Bambang Setiana, lahir di Purwokerto, 21 Juli 1952 dari keluarga yang retak. Umur enam tahun ayah ibunya bercerai dan ia dibesarkan oleh Pak Dhe dan Bu Dhe-nya yang penuh keteraturan dan disiplin.
Bakat melukisnya mulai kelihatan kala di SMP yang sekelas dengan saya. Saya membuat cerita dan Set yang menggambar illustrasinya. Tamat SMP ia mendaftar ke SMAN 2 saya ke SMA Bruderan. Namun, tak betah, ia ingin mengembangkan hobinya melukis lalu pindah ke SESRI (Sekolah Seni Rupa) Yogyakarta. Di SESRI pun Bambang Set dropout, katanya salah jurusan.
Sejak itu, saya tak pernah bertemu dengan Bambang Set. Nah, pada tahun 1973 saya bertemu kembali dengannya dan berkumpul di rumah Wahyu Mandoko dan adiknya Didi Wahyu yang bermarkas di Ahmad Yani I/369 sebelah barat SMA Bruderan. Bambang Set. Dropout dari SESRI, saya dari Sanata Dharma, Wahyu Mandoko Kedokteran Universitas Sultan Agung dan Didi Wahyu ITB, semuanya dropout-an.
Dari melukis Set mulai menekuni teater. Bergabung dengan Teater Rosana di bawah sutradara Erani Jaya pentas beberapa kali di Purwokerto. Pada tahun 1974, bersumber pada koran Berita Yudha Minggu, 21 April 1974, Teater Rosana dengan sutradara Erani Jaya pada 19 Maret 1974 berhasil menggebrak Purwokerto dengan memperkenalkan teater modern dalam pentasnya di Gedung Kesenian Soetedja dengan menggelar dua naskah sekaligus.
Suara-suara Mati karya Emmanuel van Logem dimainkan oleh Erani Jaya sebagai suami merangkap sutradara, Bambang Set sebagai sahabat, Yani Bharata sebagai istri. Dimas Yoto, bujang, Aris Munandar dan Endang Pardjo sebagi suami istri khayali.
Demikianlah Bambang Set awal mula berkesenian berteater dengan Teater Rosana pimpinan dan sutradara Erani Jaya. Bambang Set. terlibat sebagai pemain, pentas di halaman dalam SMP Bruderan dengan lakon si Lumpuh dan si Buta. Pentas di Gedung Kesenian Unsoed lama di Jln. Ragasemangsang dan terlibat dalam produksi yang ke sekian kalinya Teater Rosana seperti Sepasang Merpati Tua karya Bakdi Sumanto dan Dua Wajah karya Edi Suhendro di Auditorium RRI Purwokerto.
Tahun 1976 Teater Rosana bubar, Bambang Set. ke Jakarta untuk menimba ilmu di IKJ tahun 1977, ambil jurusan teater. Pulang kampung mengasuh Teater 77 SMA Kristen sampai tahun 1982 menggarap naskah-naskah serius seperti Wot Atawa Jembatan, Mega-mega, Aduh, Dag Dig Dug, Tengul dll, ada sekitar 13 produksi.
Saat itu, tahun 1979 saya mengajar di SMKI Purwokerto dan SMA Bruderan selalu menggiring murid-murid saya untuk menonton pentas Teater 77 yang berbasis di SMA Kristen Purwokerto di Gedung Kesenian Soetedja. Jelas pentas Teater 77 pasti penuh penonton karena saya pasti menggiring siswa saya minimal 100 anak dari dua sekolah, mereka pun berbayar. Anak buahnya antara lain, siswa SMA Kristen seperti Dadang, Budi, Yoga Sugama dan Thomas Haryanto Soekiran. Ada pula dari luar sekolah yaitu Lukman Suyanto, Haryono Sukiran dari Purbalingga.
Bambang Set pernah mengundang teater almamaternya Teater Lembaga dengan sutradara Edie de Ronde pentas di Gedung Soetedja. Bambang Set. pernah berkeliling Jawa Tengah dengan membawakan topeng. Set pun pernah membintangi sinetron produksi TVRI Sebatas Cakrawala (1986) dan Lini Terakhir (1993).
Kiprah sebagai penyair.
Yang sangat membanggakan adalah perjalanannya sebagai penyair. Pada awal pergumulannya dengan teman-teman lintas seni di Purwokerto, Bambang Set. merasa profesi sebagai penyair lebih menantang dan prestis. Kala itu tahun 1974 masanya Dharmadi, Kurniawan Junaedi, Ahita Teguh Susilo, Herman Afandi. Lalu, Bambang Set. pun mencoba menulis puisi untuk meraih predikat penyair yang prestis itu.
Menulis puisi pertama dimuat di Sinar Harapan tahun 1976. Selain Harian Sinar Harapan, seterusnya tersebar di Republika, Bali Post, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Wawasan, Bernas, Yogya Pos dll. Banyak karya-karya puisinya baik dalam antologi bersama maupun antologi tunggal. Serayu, Istirah, Antologi Penyair Indonesia, Zamrud Khatulistiwa, merupakan antologi sajak bersama.
Sebagai penyair Bambang Set sering dikritisi. “Manusia Gelisah Bambang Set.” itulah judul kupasan tentang Bambang Set yang ditulis oleh Dr. Suminto A. Sayuti di Minggu Pagi, salah satu koran yang memuat karya Bambang Set.
Pada tahun 1984 Bambang Set berhenti menulis puisi. Ia sibuk menjadi Programmer Manager di Radio RGM (Radio Gema Almamater) dan mengudarakan sastra radio. Lepas dari RGM ia menjadi manager Nignt Club Tango di Hotel Dinasty. Set mengundang penyair Sutardji Couzum Bachri untuk mengendors dirinya sebagai penyair sekaligus membuat acara penyair masuk nignt club.
Dalam buku pilihan sajak dalam kumpulan Di Padang Tanya, yang diterbitkan BIGRAF Publishing Agustus 1997 dengan kata pembaca oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo dan editor Abdul Wachid menyebut Bambang Set. menancapkan dirinya sebagai penyair Banyumas yang diperhitungkan baik di tingkat regional maupun nasional.
Sebagai penyair, Bambang Set. bukan saja asyik menggeluti dalam penciptaan puisi, tapi juga menggerakkan puisi menjadi seni pertunjukan. Ketika lomba baca puisi sering digelar di Purwokerto gaya cara Bambang Set dalam membaca puisi banyak ditiru para peserta lomba, epigon merajalela. Sebagai pembaca puisi Bambang Set pernah meraih gelar pembaca puisi terbaik se-Jawa tengah versi RRI Purwokerto tahun 1975 dan memenangi lomba baca puisi SMP Pancasila Jatilawang tahun 1983.
Untuk mewujudkan puisi sebagai seni pertunjukan, Bambang Set menggelar pemecahan rekor baca puisi Muri. Bersama, Edi Romadhon, Bambang Wadoro, Surya Esa dll. memecahkan rekor baca puisi nonstop 24 jam menjadi 50 jam. Bambang Set juga mendatangkan Kyai Zawawi (D. Zamawi Imron) menampilkan puisi dalam musik mulut Madura yang banyak menyedot massa di Purwokerto.
Demikianlah perjalanan kepenyairan Bambang Set yang jelas mewarnai jagad sastra di Banyumas. Sebagai sastrawan bisa dibilang ketenarannya setelah Achmad Tohari dan Darmadi. Namun memang karakter Bambang Set yang nyentrik, tidak pernah puas dengan satu aktivitas seni. Dari lukis beralih ke teater lalu menerabas tantangan di dunia sastra menjadi penyair.
Menjelang akhir kariernya aktif di DKKB yang didirikannya bersama teman-temannya dan berusaha mengangkat derajat seni tradisional Banyumas bahkan sampai ke Eropa dan negeri Jiran, Malaysia. Cakenjring (Calung, kenthong dan genjring) berkibar pada ajang internasional Mezinarodni Folklorni Festival, 12 – 18 Juni 2007 di Frydek-Mistex Republik Ceko Eropa Tengah yang diselenggarakan oleh CIOFF / UNESCO. Kemudian tampil di Dataran Merdeka Kuala Lumpur Malaysia mengikuti International Drum Festival pada akhir Desember 2007. Sungguh raihan prestasi membanggakan tlatah Banyumas dalam memperkenalkan seni budaya Banyumas di kancah internasional.
Bambang Set telah berpulang, ia meninggal tanggal 18 Desember 2012 malam pukul 21.50 di RSU Geriyatri karena komplikasi varises pada hati. Warisan karya-karyanya, aktivitasnya dalam mengelorakan seni, baik itu teater, sastra, seni tradisional yang tak pernah pantang surut, patut dikenang dan diteladani generasi seniman penerusnya. (Widoyo)