Depok | mediasinarpagigroup.com – Terjadi mispersepsi rumah ibadah dengan rumah ibadah keluarga oleh Wali Kota Depok Muhammad saat konferensi pers di Balaikota Depok, Selasa (19/9). Idris merujuk pada Pasal 18 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Mispersepsi?
Dimana pada pasal 18 ayat 1 pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara harus mendapat izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi syarat. Yaitu (a) laik fungsi; dan (b) pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Kemudian pada pasal 18 ayat 3 berbunyi, persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b), meliputi. (a) izin tertulis pemilik bangunan;
(b) rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; (c) pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
(d) pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
Pasal 18 ayat 1 dan 3 pada Peraturan Bersama 2 Menteri itu berlaku untuk rumah ibadah yang memanfaatkan sementara bangunan yang bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah. Letak mispersepsinya itu ada pada rumah ibadat dengan rumah ibadat keluarga.
Kapel bukan Rumah Ibadat
Pada penjabaran Peraturan Bersama 2 Menteri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, Bab I Tentang Ketentuan Umum di poin 4 dijelaskan bahwa rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk rumah ibadat keluarga.
Nah, apa itu rumah ibadat keluarga? Pada poin 5 disebutkan, rumah ibadat keluarga dalam Islam disebut musalla/langgar/surau/meunasah; dalam Kristen disebut kapel/rumah doa; dalam Katholik disebut kapel; dalam Hindu disebut sanggah/mrajan/panti/paibon; dalam Buddha disebut cetya; dan dalam Khonghucu disebut siang hwee/co bio/cong bio/kong tek su.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan pasal 18 ayat 1 dan 3 dari Peraturan Bersama 2 Menteri terhadap Kapel GBI Gandul keliru. Karena Kapel GBI Gandul setara Musalla yang tidak memerlukan izin maupun rekomendasi sebagaimana yang diminta oleh LPM Gandul kepada pengurus Kapel GBI Gandul.
“Jadi yang di Gandul, Cinere itu kan kapel. Bahkan saudara Wali Kota menyebutkan itu kapel, itu tidak perlu izin dari warga, ya itu betul. Tetapi kenapa jadi masuk ke pasal 18 ayat 1 dan 3 Peraturan Bersam 2 Menteri,” kata Anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi PDIP, Frans Samosir di Gedung DPRD Kota Depok, Rabu (20/9).
Dikatakan Frans, jika Pemerintah Kota Depok ingin memastikan sertifikat laik fungsi (SLF) bangunan kapel yang digunakan sah sah saja. Karena SLF merupakan bagian dari perizinan untuk melindungi warganya, karena SLF berlaku bagi seluruh bangunan bertingkat, bukan hanya kapel tersebut.
“Semua gedung bertingkat harus mengantongi SLF termasuk gedung Pemkot Depok karena ini untuk keselamatan, silahkan dicek. Tapi pemeriksaan SLF tidak bisa digunakan sebagai syarat perizinan mereka beribadah.”
“Bagi mereka kapel itu kan kantor pelayanan, ngga cuman hari Minggu mereka juga ada kegiatan pelayanan. Jadi ngga bisa dibilang kalau musalla kan kecil, ini gede, lho itu bukan hak kita yang Islam mendefinisikan harus seperti apa tempat kapel mu. Kalau mau, cek donk sama organisasi gereja, masuknya ini kategorinya gereja atau kapel,” ujarnya.
Kemudian, terjadi kesalahan dalam melihat masalah disana. Ada penolakan dari warga, LPM berkirim surat menolak, tapi juga mengarahkan orang-orang setelah pengajian subuh.
“Didalam kasus yang real melanggar pun, warga tidak bisa semena-mena langsung menghentikan kegiatan. Yang bisa dilakukan warga adalah melapor, hanya Pemerintah Kota Depok yang boleh mengambil tindakan jika ditemukan pelanggaran.”
“Ini yang gagal dilakukan edukasi oleh Wali Kota Depok kepada masyarakat. Harusnya Wali Kota Depok menetapkan garis lurus dalam hal untuk menciptakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di kotanya. Bukannya bersikap permisif seolah-olah melindungi,” ucap Frans Samosir.
Oleh sebab itu, lanjut Frans, jika umat Kapel GBI Gandul ingin beribadah pada Minggu 24 September 2023 mendatang. 10 anggota DPRD dari Fraksi PDIP siap menjaga dan mengawal demi terlaksananya ibadah yang aman, tentram dan kondusif.
“Kalau orang Kapel GBI Gandul minta ya kita siap turun kesana satu fraksi. Nanti kita dilokasi selain menjaga berjalannya ibadah, ya melakukan edukasi lah ke masyarakat setempat biar ngga mispersepsi terus,” ujar Frans Samosir. (Aditia Ginting)