Muara Enim | mediasinarpagigroup.com – Entah sebagai paradigma ataupun hanya bagian dari kolase demi memenuhi hasrat estetika.
Hukum adat nilainya di bawah hukum positif tentunya merupakan harapan sebagian dari masyarakat atas kultur pemerintah daerah.
Ilustrasi beberapa rangkuman liputan sebelumnya , semisal dugaan atau anggapan melanggar hak positif tentunya searif apapun kearifan lokal tetap “gosong” di tangan penguasa.
Sekelumit catatan ringan ini yang merupakan eskalasi suatu bagian dari mempertahankan hutan adat agar tidak diserahkan ke pemerintah ( Study kasus antara warga salah satu desa kecamatan Tanjung Agung dan sekarang tengah menjalani hukuman melawan salah satu BUMN terbesar di kabupaten Muara Enim,Red) Karena itu bagian dari kearifan lokal namun justru berfakta seolah dimentahkan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa
“bumi, air, dan kekayaan alam yg terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Okelah kalau itu memang untuk kemakmuran rakyat tapi pada prakteknya dugaan hanya dikuasai oleh segelintir pemilik kepentingan dengan sistem hak pakai yg sudah tidak relevan.
Komunitas adat dipinggirkan termasuk komunitas ” LUAR ” yang dibawa kedalam sebagai sistem yang ikut mewarnai.
Ada idiom ringan yang sering kita dengar bahwa Jangankan mau makmur , mau minta pekerjaan saja.sulit di perusahaan yang sudah dikuasai mata sipit , contohnya tambang nikel di salah satu provinsi sulawesi.
Kearifan lokal hanya untuk dipakai sebagai hukum adat HK adat nilainya di bawah HK positif
Kalau kita dianggap melanggar hak positif..searif apapun kearifan lokal tetap gosong di tangan penguasa
Terakhir , Sengketa salah satu tokoh adat kabupaten Muara Enim mempertahankan hutan adat agar tidak diserahkan ke pemerintah ( Desa , Red) Karena itu bagian dari kearifan lokal…. tapi dimentahkan dengan pasal 33 ayat 3…
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Logika dan hukum sudah tidak dipakai…yang dipakai hanya politik kepentingan
Semua serba pragmatis…
Semua pake idiom USA (Untung Saya Apa)
Kalau bisa dipersulit…kenapa dipermudah?
Wkwk…. Sebagai jurnalis saya merasa bahwa sinkronisasi adalah mutlak.
Saya kutip dari disertasi temanku tentang sinkronisasi hukum agraria untuk hukum tanah permukaan dengan Ruang Bawah Tanah (RBT)….
Meskipun secara ilmiah disertasinya dipuji tapi anehnya di tangan pemilik kebijakan dan pemilik manfaat jadi basi …Karena tidak sesuai dengan kepentingan yang sudah di plot sebenarnya.
Apa daya…kita orang bawah hanya bisa menerima….
Makanya aku lebih senang perubahan daripada mendukung pemilik Azas Manfaat
Kok ngelantur ya…
Wkwkkk
Salam Sejawat (Senin ,10/6/2024)
FOKAL Kabupaten Muara Enim
marsidisecacc@gmail.com