Muara Enim | mediasinarpagigroup.com – Masalah suap-menyuap adalah salah satu masalah sosial tertua yang terjadi di masyarakat. Praktik suap merupakan salah satu bentuk korupsi yang paling marak di Indonesia dan bahkan menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semua urusan bisa diperlancar dengan suap. Yang mau memberi suap akan dimudahkan urusannya, sebaliknya yang tidak mau memberi suap akan dipersulit. Fenomena ini menimbulkan sebuah jargon negatif kepada para pejabat “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?”
Jargon ini muncul sebagai sindiran bagi para pejabat yang sering mempersulit urusan masyarakat agar masyarakat memberikan uang suap guna dilancarkan urusannya. Tidak ada urusan yang mudah kalau tidak ada uang. Sebaliknya tidak ada urusan yang sulit kalau ada uang.
Suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat tertentu agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingan si pemberi suap. Suap biasanya diberikan kepada pejabat pemutus (pejabat yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu). Pejabat yang dimaksud biasanya pejabat pemerintah dan/atau pejabat di bidang hukum, atau bisa juga pejabat di lingkungan BUMN.
Peristiwa suap dibidang pemerintahan misalnya suap yang diberikan kepada pejabat yang berwenang memberikan konsesi (izin pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam) agar memberikan konsesi kepada si penyuap.
Peristiwa suap dibidang pemerintahan juga biasa terjadi dalam rekrutmen instusi tertentu.
Demikian pula dalam hal penentuan pejabat di perusahaan BUMN.
Peristiwa suap dibidang hukum dilakukan kepada para oknum penegak hukum untuk mempengaruhi para penegak hukum agar melanggar asas due process law (proses hukum yang adil)
Suap diberikan kepada penegakan hukum acara yang dilakukan agar memanipulasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) guna meringankan tersangka dari tuntutan hukum. Suap diberikan kepada oknum untuk menyetel pasal yang dituntutkan agar tidak memberatkan terdakwa.
Suap diberikan kepada tangan keadilan agar membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.
Suap sudah sangat lazim dilakukan sehingga “sudah membudaya”. Karena sudah membudaya, banyak yang beranggapan bahwa suap bukan masalah hukum dan tidak akan dijerat hukum. Padahal jika dilihat definisinya, akan jelas bahwa suap adalah perbuatan kriminal yang bisa dijerat hukum.
Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai “pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya,” demikian dikutip DARI buku Delik-Delik Korupsi karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan (2020).
Lebih lanjut disebutkan pula bahwa suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta.
“Sesuatu” yang dimaksud di sini yaitu sesuatu yang bernilai ekonomi.
Di situlah, suap termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Sebagai sebuah tindak pidana korupsi, maka akan ada hukuman yang menanti pelaku dan penerima suap.
Untuk menghindari kejaran hukum, suap jarang dilakukan secara langsung, tetapi secara tidak langsung atau melalui perantara.
Pembicaraan mengenai besaran dan kapan suap diserahkan, biasanya dilakukan di meja makan atau cafe. Sebuah cafe sudah biasa menjadi tempat tempat ”ngopi” dan merokok sambil ”ngobrol” santai.
Cafe yang ramai pengunjung tidak akan menarik perhatian dan mengundang kecurigaan pihak yang berwenang. Apalagi jika pelaku yang membicarakan masalah suap ini adalah ”orang-orang biasa” yang bukan pejabat.
Bahasa yang digunakan pun menggunakan sandi yang belum tentu dimengerti semua orang. Biasanya bahasa yang digunakan ini membutuhkan kesepakatan dan kesepahaman antara lawan bicara.
Misalnya kata Apel Malang, Apel Washington, Pelumas, dan Semangka. Istilah “apel malang” berarti uang rupiah, “apel washington” berarti dolar AS, “pelumas” berarti uang, dan “semangka” artinya permintaan dana. Kata-kata ini digunakan para pelaku dalam kasus Wisma Atlet yang mencuat ke publik pada tahun 2012.
Kata ”bisyaroh” digunakan dalam kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama pada 2019. Istilah ini sebetulnya merujuk honor/gaji bagi guru di pondok pesantren, namun kemudian dipergunakan dalam kasus yang menjerat Ketua Umum Muhammad Romahurmuziy yang ditangkap dalam proses OTT KPK pada 15 Maret 2019. Romy, menerima suap senilai Rp 255 juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan uang Rp 50 juta dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Suap ini dimaksudkan agar Romy bisa mempengaruhi proses seleksi jabatan yang diikuti keduanya di Kemenag.
Ada juga istilah ”uang kondangan” dalam kasus Edy Nasution Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2016. Edy divonis 5,5 tahun penjara karena menerima uang suap Rp 150 juta dari pihak yang berperkara di PN Jakarta Pusat. Sang penyuap, Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugrah kala itu, menyebut uang itu sebagai “uang kondangan” untuk pernikahan anak Edy yang bernama Andre Nasution.
Istilah lain yang sering dipakai untuk menanyakan berapa besar uang suap yang akan diberikan adalah ”kopinya berapa”. Istilah ini sering dipakai para negosiator suap ketika mengobrol di cafe sambil minum kopi.
Obrolan santai sambil minum kopi ini menjadi ”pintu rejeki” bagi pihak-pihak yang terlibat. Akan tetapi jika perbuatan mereka ini ketahuan, maka mereka akan mendapat ”kopi pahit” dari penegak hukum.
Kopi pahit ini berupa ancaman hukuman yang sangat berat, yaitu:
”Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.” (Pasal 12 a UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor).
Jika sudah meringkuk dalam penjara, kena denda, harta disita, dipastikan si penerima suap tidak akan bisa menikmati uang yang didapatkannya dari korupsi (suap). Jangankan menikmati hasil korupsinya, untuk tidur pun sulit.
Jika ini terjadi, barulah si penerima suap belajar dari filosofi kopi yang dijadikannya sandi untuk korupsi, bahwa ”Secangkir kopi dan korupsi mempunyai efek yang sama, yaitu sama-sama membuat sulit tidur.”(Marsidi)