Jakarta | mediasinarpagigroup.com – Sedikitnya 300 jurnalis se-Jabodetabek yang tergabung dalam Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) berjanji siap mengeruduk tempat kerja Goenawan Mohamad, salah satu komisaris Jawa Pos (JP), di Gedung Salihara, Jati Padang, Jakarta Selatan.
Ketua Umum FWJ Indonesia, Mustofa Hadi Karya yang biasa disapa Opan mengatakan, forumnya sebagai wadah insan pers, prihatin mencermati perjuangan para mantan jurnalis Jawa Pos maupun eks karyawannya menghadapi perlakuan tidak adil di masa tua oleh elite penguasa industri pers Jawa Pos (JP).
Padahal kata Opan, rata-rata awak pers JP ini sudah bekerja belasan tahun hingga diatas 20 tahun. Bahkan, ada yang 30 tahun lebih mengabdi total, namun imbalannya diperlakukan bukan sebagai pekerja intelektual insan pers, melainkan tak ubahnya buruh pabrik yang menggantungkan nasib kepada manajemen.
“Apabila para komisaris Jawa Pos (JP) tidak segera menyelesaikan hak mantan wartawan dan awak media terkait saham untuk mengatasi beban masa tua, anggota FWJ Indonesia se-Jabodetabek dan juga mengajak kawan-kawan seprofesi siap melakukan aksi solidaritas, “kata Ketua Umum FWJI, Mustofa Hadi Karya alias Opan melalui keterangan Persnya di Jakarta, Selasa (3/12/2023).
Opan menegaskan, Forum yang dinakhodainya tidak memiliki kepentingan lain kecuali sedih dan prihatin atas apa yang dialami para senior mantan wartawan Jawa Pos. Lebih lanjut, dia menyebut keprihatinannya ketika dia mendengar ada wartawan senior yang sudah pensiun di JP seperti Abdul Muis nekad unjuk rasa sendiri memperjuangkan nasib masa tua.
“Memilukan dan sangat prihatin melihatnya. Abdul Muis bersepeda ontel dari Surabaya ke Jakarta. Bahkan, dia seperti mempertaruhkan nyawa di sepanjang perjalanan selama lima hari, menempuh jarak 800 KM,” ucap Opan.
Persoalan hak, ulas Opan harus diperjuangkan meski hal-hal buruk terjadi. Wartawan yang biasa bekerja kritis lewat tulisan, justru saat memperjuangkan nasib sendiri tulisannya jadi tumpul dan tidak didengar, bahkan Dewan Pers pun menurut dia tak bisa mengambil sikap tegas dalam persoalan ini.
“Tega sekali para pemegang saham JP seperti keluarga amarhum Pak Ciputra dan Goenawan Mohamad Cs, “tegas Opan, yang organisasinya kini menyebar di hampir seluruh provinsi di Tanah Air.
Kejadian tersebut, Opan menilai sangat paradoks, tragis, bahkan menyedihkan. Karenanya, FWJ Indonesia berpandangan sepatutnya para insan pers JP tidak membiarkan berjuang sendiri. Apalagi, kasus seperti ini dipastikan juga menimpa para awak media lain, khususnya yang mengabdi di industri pers milik para pemodal besar pers di Indonesia.
“Sudah jadi rahasia umum. Tidak sedikit jurnalis yang kritis dan pemberani di lapangan maupun dalam menulis berita, namun saat kembali ke kantor jadi penakut atau tak berdaya menghadapi ancaman dipecat sebagai karyawan,” ungkap Opan, mencermati fenomena para anggotanya.
Ada sebab ada aksi, hal itu bagi aktifis pers yang juga sebagai ketua umum FWJ Indonesia kasus yang dialami para mantan wartawan JP perlu menjadi peehatian semua pihak, bahkan kata dia hal itu harus didengar dunia.
“Kami generasi jurnalis penerus, menghadapi polarisasi industri pers seperti yang dialami senior kita di Jawa Pos, termasuk teman-teman yang masih aktif itu tidak boleh dibiarkan. Karena itu, kita dukung penuh perjuangan mereka sampai para pemilik modal mau mengembalikan saham hak kolektif wartawan Jawa Pos baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif,” tegasnya.
Dengan begitu, lanjut Opan profesi Pers di Indonesia tidak terus terjadi preseden buruk profesi pers di Tanah Air diperbudak penguasa industri pers mirip tagline iklan teve; “Aku gak enakan, dia seenaknya”.
Beberapa waktu lalu upaya konfirmasi ke komisaris GM sudah dilakukan oleh para mantan wartawan JP. Mereka berusaha menemui GM di kantornya di Gedung Salihara, Jalan Salihara, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
“Maaf, Pak GM gak ada di kantor. Biasanya beliau di rumah,” kata salah seorang karyawan, saat ditanya keberadaan GM.
Menurut Opan, pihaknya juga terpanggil ketika mencermati Amu dan beberapa mantan wartawan JP yang orasi di kantor GM di Gedung Salihara, setelah gagal bertemu GM pada Sabtu (2/12/2023).
“Rasa solidaritas sesama insan pers, FWJ Indonesia mendukung penuh perjuangan teman-teman senior Jawa Pos. Apalagi, hak saham karyawan yang diperjuangkan bukan cuma untuk yang pensiun. Tapi, juga berlaku bagi wartawan-wartawan yang sekarang masih aktif, ” terang Opan.
LAPOR POLDA
Sebagaimana diketahui, hak-hak saham seluruh karyawan Jawa Pos sebesar 20 persen dibagi-bagi para pemegang saham Jawa Pos, khususnya para komisaris seperti pendiri Tempo, Goenawan Mohamad (GM) Dkk. Lainnya, PT Grafiti Pers, Haryoko Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Ratnasari Dewi (Wenny), Dothe Samola, dan Dahlan Iskan.
Tahun 2021, menurut Sop, para mantan karyawan menunjuk pengacara Sudiman Siabuke, SH hingga memperoleh legal standing dan berhasil menempuh jalan damai di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. PN menetapkan akta van dading dalam putusan No 125/Pdt.G/2002/PN Surabaya, tanggal 9 Mei 2002. Isinya, memerintahkan Dahlan Iskan membentuk yayasan karyawan. Yayasan ini akan bertanggungjawab jika 20% saham yang dikuasai GM dkk dikembalikan, termasuk terkait pembagian deviden.
“Kami berharap Pak GM yang akhir-akhir ini lantang menggaungkan kejujuran dan keadilan, mau peduli terhadap nasib karyawannya yang banyak kesulitan di hari tua. Ini akibat hak saham jadi banca’an para komisaris,” kata mantan wartawan JP, Umar dilansir laman resmi mantan karyawan Jawa Pos, cowasjp.com, 2 Desember 2023.
Slamet Oerip Pribadi, wartawan perintis JP yang bekerja sejak JP diakuisisi manajemen Majalah Tempo awal tahun 80-an, mengungkapkan bahwa manajemen JP dibawa kendali Dahlan Iskan pada tahun 2001, lewat RUPS JP diperintahkan agar Dahlan Iskan membentuk yayasan untuk mengelola saham karyawan.
“Selama manajemen di bawah kendali komisaris Goenawan Mohamad dkk, dan Dahlan sebagai Dirut selama 20 tahun tidak pernah membentuk yayasan karyawan,” kata Sop panggilan akrab Slamet Oerip Pribadi dalam rilisnya diberbagai media.
Akibatnya, para mantan wartawan maupun karyawan yang pensiun hanya memperoleh uang pesangon sesuai kehendak penguasa manajemen JP. Deviden karyawan sejak 2002, bahkan tidak pernah diberikan. Selain itu,
kerja keras selama jadi wartawan media terbesar kedua setelah Kompas, imbalan yang diberikan Jawa Pos jauh dari perlakuan Kompas terhadap wartawan dan karyawannya.
“Nasib mereka jauh berbeda dengan mantan karyawan Kompas yang sampai sekarang mendapatkan hak pensiun. Paling kecil Rp5 juta per bulan,” kata Sop.
Karena tidak ada etikat baik para komisaris dan manajemen JP, akhirnya para mantan karyawan menunjuk lawyer dari Jakarta, Dr. Duke Arie Widagdo, S.H., M.H., CLA., pada 21 2023. Kemudian, kasus ini dilaporkan pidana ke Polda Jatim.
“Saat ini, masih dalam tahap penyelidikan untuk dilakukan gelar perkara berlanjut ke penyidikan,” pungkas Sop, yang diusianya 73 tahun masih aktif memimpin media online CoWas (Konco Lawas) JePe. (Budi)