JAKARTA, mediasinarpagigroup.com – Kamis 18 November 2021, Jaksa Agung RI Burhanuddin menjadi Keynote Speaker pada Webinar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dengan judul “Hukuman Mati Bagi Koruptor, Terimplementasikah?” melalui zoom meeting dari ruang kerja Jaksa Agung di Gedung Menara Kartika Adhyaksa) Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Webinar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dihadiri oleh Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Dr. Ir. Suwarto, M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Dr. Muhammad Fauzan, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, dan Bapak Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H. serta seluruh peserta webinar yang hadir.
Mengawali paparannya, Jaksa Agung RI menyampaikan isu terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan tentunya akan menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, saya ingin membuka ruang diskursus dalam mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam kemungkinan untuk dapat diterapkannya sanksi pidana terberat ini untuk para koruptor.
“Untuk itu, atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara, khususnya kepada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini di tengah pandemi Covid-19,” ujar Jaksa Agung RI.
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kejaksaan memiliki kewenangan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang yang dilakukan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kejaksaan).
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, posisi Kejaksaan adalah mengendalikan suatu perkara pidana dari tahapan awal (penyelidikan) sampai dengan akhir (ekseskusi) sebagai satu kesatuan proses penuntutan. Oleh karena itu, Jaksa memegang peranan penting dan sentral dalam menentukan keberhasilan proses penegakan hukum di suatu negara. Kewenangan Kejaksaan ini berdasarkan asas single prosecution system, dominus litis, oportunitas, dan independensi penuntutan. Di samping itu, Kejaksaan merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar), yang dikenal dengan sebutan eksekutor.
Kewenangan Kejaksaan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Kejaksaan, perlu untuk kita diskusikan bersama. Karena keberhasilan pada tahap akhir inilah suatu perkara pidana dapat dikatakan telah tuntas. Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, termasuk juga dalam mengendalikan pelaksanaan hukuman mati, Kejaksaan senantiasa memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, nilai kemanusiaan, dan keadilan berdasarkan Pancasila, tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan, selain diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b UndangUndang Kejaksaan juga diatur dalam ketentuan berikut:
a. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa.”
b. Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” dan
c. Khusus untuk pelaksanaan hukuman pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2/PPNS/1946 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Jaksa Agung RI mengatakan, dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan upaya represif yang tegas sebagai efek jera. Kejaksaan telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan efek jera diantaranya:
a. Penjatuhan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatan;
b. Merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset;
c. Pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal.
d. Penerapan pemberian justice collaborator yang dilakukan secara selektif guna menemukan pelaku yang lain;
e. Melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
Upaya-upaya tersebut ternyata belum cukup untuk mengurangi kuantitas kejahatan korupsi. Oleh karena itu, Kejaksaan merasa perlu untuk melakukan terobosan hukum dengan penerapan hukuman mati.
Kajian terhadap pelaksanaan hukuman pidana mati, khususnya terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, perlu kita perdalam bersama. Hal ini mengingat belum ada satu putusan yang menerapkan pemidanaan ini sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Keberadaan sanksi pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera.
Tujuan dari efek jera ini adalah agar para pelaku tindak pidana korupsi tidak mengulangi kembali perbuatannya dan hal ini terbukti cukup berhasil dengan sedikitnya pengulangan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan koruptor. Keberhasilan memberikan efek jera bagi koruptor ini ternyata di satu sisi tidak berdampak bagi masyarakat. Hal ini terbukti dari fenomena korupsi di Indonesia saat ini justru semakin menggurita, akut, dan sistemik, serta menjadi pandemi hukum yang telah masuk di setiap lapisan masyarakat.
Efek jera harus dimaknai sebagai upaya preventif yang dapat membuat setiap orang takut melihat akibat yang terjadi apabila dia akan melakukan perbuatan korupsi. Ancaman penjeraan terberat dari perbuatan korupsi adalah hukuman mati. Ke depan kita perlu melakukan terobosan pemidanaan ini sebagai tonggak pemberantasan korupsi dan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk jangan sekali-kali melakukan perbuatan korupsi. Pengaruh sanksi pidana bukan semata-mata ditunjukan pada pelaku kejahatan, melainkan juga untuk mempengaruhi norma-norma masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
Ruang yuridis dalam penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan bahwa: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”Dalam Penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
- Terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi:
- a.Penanggulangan keadaan bahaya;
- b.Bencana alam nasional;
- c. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
- d. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan
- Terhadap pengulangan tindak pidana korupsi
Kita akan coba perdalam frasa “keadaan tertentu” tersebut satu persatu yaitu :
Pertama, pengertian tentang frasa “penanggulangan keadaan bahaya”, dapat ditemui dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, yang merumuskan bahwa: “Keadaan bahaya adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Keadaan Bahaya”. Pengertian keadaan bahaya ini juga harus merujuk ketentuan dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang mengkategorikan tingkatan bahayanya menjadi: keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang. Melihat acuan dalam menafsirkan frasa “keadaan bahaya” masih menggunakan ketentuan tahun 1959, maka kiranya perlu dibuat regulasi terbaru.
Kedua, pengertian tentang frasa “bencana alam nasional”, diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa: “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Pengertian bencana alam terdapat di Pasal 1 angka 2, yang menyatakan bahwa: “Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”. Untuk dapat menjadi bencana alam nasional, maka harus ditetapkan statusnya oleh Pemerintah Pusat.
Untuk dapat dikenakan sanksi pidana mati, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanyalah untuk dana-dana yang diperuntukan bagi “bencana alam nasional.” Namun tidak untuk “bencana non alam”. Di sinilah kita menemukan kelemahan regulasi yang harus diperbaiki. Korupsi dana-dana yang diperuntukan bagi “bencana non alam”, misalnya untuk penanggulangan pandemi Covid-19 seperti yang saat ini kita alami. Jika melihat ketentuan yuridis tersebut, maka pelaku berpotensi tidak akan dapat dikenakan hukuman pidana mati. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran agar “bencana non alam nasional” dapat dimasukan ke dalam katagori “bencana alam nasional”, agar koruptor dapat dikenakan pasal pidana mati. Untuk lebih memberikan legitimasi, maka ke depan perlu kita lakukan reformulasi norma tersebut, yang mana frasa “bencana alam nasional” cukup dirumuskan menjadi “bencana nasional”.
Ketiga, pengertian tentang frasa “penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas”, dapat ditemui dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyebutkan bahwa: “Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror”. Kerusuhan sosial menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kepanikan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat sangat tidak terkendali, sehingga mengakibatkan banyaknya korban jiwa, harta benda, hingga pengerusakan sarana publik.
Keempat, pengertian tentang frasa “penanggulangan krisis ekonomi dan moneter”, perlu dilihat dari aspek perekonomian yang dapat menyebabkan inflasi, kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam, melonjaknya kenaikan harga barang dan jasa, serta ketersediaan keuangan negara. Regulasi saat ini belum memberikan definisi yang cukup jelas apa yang dimaksud dengan “krisis ekonomi dan moneter”, sehingga diperlukan banyak tafsiran dari para ahli ekonom.
Kemudian yang terakhir kelima, pengertian tentang frasa “pengulangan tindak pidana”, sebagai salah satu syarat hukuman mati kiranya perlu kita kaji ulang kembali penerapannya. Apakah pengulangan ini sama dengan pengertian recidive dalam KUHP. Recidive adalah apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana dan terhadapnya telah dijatuhi suatu keputusan hakim, kemudian setelah selesai menjalani pidananya dan dikembalikan ke masyarakat, dalam jangka waktu tertentu dia melakukan lagi suatu perbuatan pidana.
Isu hukum yang paling krusial di sini adalah bagaimanakah terhadap kasus korupsi yang baru terungkap pada saat yang bersangkutan telah berstatus terpidana? Oleh karena itu, pembahasan mengenai “pengulangan tindak pidana” ini sangatlah penting. Saya ulangi, ini sangatlah penting bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal ini mengingat, jika melihat konsep recidive dalam KUHP, maka ada persyaratan khusus untuk dikatakan recidive yaitu yang bersangkutan harus telah selesai menjalani pidananya terlebih dahulu dan dikeluarkan dari penjara, kemudian melakukan kejahatan lagi. Jika konsep dalam hal ini diterapkan dalam perkara korupsi, tentunya tidak akan berjalan secara efektif dan tidak menimbulkan efek jera.
Dalam perkara korupsi, seorang koruptor dapat melakukan berbagai macam perbuatan korupsinya di berbagai tempat dengan modus yang berbeda-beda. Jika pelaku telah diputus penjara, kemudian pelaku tersebut diketahui telah melakukan berbagai macam perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam tentang bagaimana bentuk kekhususan atau lex speciallis dari konsep “pengulangan tindak pidana” dalam perkara tindak pidana korupsi.
Jaksa Agung RI menyampaikan penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini memiliki beberapa persoalan yang patut kita cermati dan waspadai bersama antara lain:
Pertama, sanksi pidana mati hanya dapat diterapkan pada Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal jenis dan modus tindak pidana korupsi sangat banyak yang juga dapat merugikan keuangan negara.
Kedua, terdapat pembatasan syarat-syarat khusus “dalam keadaan tertentu” untuk dapat diterapkan pidana mati, tanpa melihat berapa keuangan negara yang dirugikan sebagai parameter utama. Jika diperbandingkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku kejahatan dapat dikenakan pidana mati dengan melihat parameter berapa berat jenis narkotika. Mengapa dalam tindak pidana korupsi tidak diberlakukan parameter yang serupa dengan melihat berapa kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini mengakibatkan koruptor yang telah merugikan miliaran atau bahkan triliunan keuangan negara, tidak dapat dikenakan pidana mati sepanjang tidak ada syarat-syarat khusus “dalam keadaan tertentu” sebagaimana ketentuan di Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketiga, penafsiran frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirasa kurang jelas sehingga diperlukan pembahasan yang mendalam terkait frasa tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya banyak tafsir dengan melibatkan banyak ahli yang justru berpotensi dapat disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Keempat, instrumen upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) dapat dimintakan lebih dari 1 (satu) kali. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 telah menyatakan ketentuan PK hanya boleh 1 (satu) kali saja sebagaimana diatur di Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kelima, tidak ada batasan waktu untuk permohonan grasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 telah menyatakan permohonan grasi diajukan paling lama 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur di Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berpotensi dapat menjadikan pelaksanaan putusan menjadi berlarut-larut, manakala terpidana yang hendak dieksekusi tiba-tiba mengajukan permintaan PK atau permohonan grasi.
Keenam, pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan. Atas pernyataan tersebut akan saya jawab dengan sebuah pertanyaan serupa secara a contrario, yaitu: “Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?” Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi.
Dan Ketujuh, adalah terdapat penolakan dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang menolak pemberlakuan hukuman mati. Para aktivis HAM ini tentunya mendapat dukungan dari dunia internasional yang terus mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati. Mereka senantiasa berdalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan. Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati.
Jaksa Agung RI mengatakan, perlu menyadari bahwa eksistensi “hak asasi” haruslah bergandengan tangan dengan “kewajiban asasi.” Dengan kata lain, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun jika dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, maka akan tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya. Ketentuan dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.
Isu terkait hak hidup yang seharusnya lebih untuk direnungkan adalah tentang bagaimana cara hidup atau matinya seseorang. Tuhan memberikan pilihan dan memberikan kebebasan manusia untuk memilih. Manusia itu sendiri yang menentukan pilihannya tentang bagaimana cara hidupnya dan cara matinya dalam kehidupan di dunia ini. Setiap yang bernyawa pasti akan mati, tetapi cara memilih kematian apakah mati dalam keadaan baik atau mati dalam keadaan buruk, manusialah yang memilih. Jika manusia menginginkan untuk mati dalam keadan baik, maka sudah seyogianya ia tidak melakukan suatu kejahatan. Dengan kata lain, apabila manusia dalam hidupnya melakukan kejahatan, maka sesungguhnya ia telah memilih jalan untuk mati dalam cara keadaan yang buruk.
Sebelum mengakhiri webinar ini, Jaksa Agung RI menegaskan kembali bahwa gagasan untuk menghukum mati koruptor adalah bentuk manifestasi kegalauan pemberantasan korupsi. Mengapa ribuan perkara sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah dipidana, tetapi justru kualitas dan tingkat kerugian negara justru semakin meningkat. Satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa ternyata efek jera hanya mengenai para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat karena koruptor baru justru silih berganti dan tumbuh dimana-mana. Perlu dipikirkan efek jera yang bagaimana yang dapat menjadi warning yang efektif bagi masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan korupsi. Oleh karena itu, satu instrumen yang patut dipertimbangkan untuk diterapkan adalah instrumen pidana mati yang merupakan jenis pemidaan yang terberat.
Melalui webinar ini Jaksa Agung RI menaruh harapan, khususnya bagi para civitas akademika, sebagai kaum terpelajar dan intelektual, untuk dapat ikut andil memberikan kajian, sumbangsih saran, dan solusi kepada para aparat penegak hukum untuk dapat menerapkan hukuman mati bagi para koruptor tersebut. Saya yakin pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia akan semakin baik, tegas, dan terukur. Tentunya harapan bagi kita semua, Indonesia akan tebebas dari pandemi hukum yang bernama korupsi ini, tutup Jaksa Agung.(Aditia Krsa Ginting/Red)