Muara Enim | mediasinarpagigroup.com – Tugas utama seorang jurnalis adalah mengumpulkan informasi yang akurat dan relevan, menulis, menganalisis atau mengolah informasi yang diperoleh menjadi berita, kemudian melaporkannya kepada publik melalui media massa.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang jurnalis sering dianggap sebagai wakil dari suara masyarakat mengenai berbagai kejadian yang ada dan terjadi di masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya itu seorang jurnalis bertindak sebagai penjaga kebenaran dan penyampai informasi yang juga menyuarakan suara-suara yang tak terdengar serta memicu perubahan sosial.
Sebagai penyuara kebenaran, jurnalis mempunyai peran memberikan informasi yang faktual dan mendidik.
Peran sebagai pemberi informasi faktual berarti karya jurnalistik bukan hanya memberikan informasi, namun juga harus sesuai dengan kenyataan tanpa rekayasa.
Di lain pihak peran sebagai seorang pendidik maksudnya bahwa seorang jurnalis harus menyajikan informasi yang memiliki nilai edukatif dan memberikan manfaat, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan kualitas hidup masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang jurnalis ibarat partikel bebas di dalam ilmu fisika.
Partikel bebas dalam mekanika kuantum adalah partikel yang tidak dipengaruhi oleh medan potensial eksternal atau internal, sehingga secara teknis energi potensialnya menjadi nol karena tidak mengalami gaya apa pun.
Partikel bebas dalam mekanika kuantum biasanya digambarkan sebagai partikel yang tidak berada di bawah pengaruh medan potensial eksternal atau internal, sehingga energi potensialnya hampir nol. Dengan kata lain, ia tidak mengalami kekuatan apa pun.
Teori fisika ini ketika diterapkan ke dalam bahasa jurnalistik berarti: Jurnalis/wartawan sebagai partikel bebas memiliki “kebebasan” untuk menyuarakan kebenaran tanpa takut dicekal hukum.
Posisi sebagai “partikel bebas” ini telah dimiliki wartawan/jurnalis pasca ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2/DP/MoU/II/2017 yang memuat bahwa:
Apabila ada produk jurnalistik yang diproduksi lewat mekanisme jurnalisme yang sah, tidak dapat dibawa ke ranah pidana, sepanjang informasi itu benar dan bukan fitnah serta diterbitkan oleh media yang diakui dan disahkan oleh Dewan Pers.
Penetapan Nota Kesepahaman ini didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kepala Kepolian Negara Republik Indonesi Nomor 12 Tahun 2014 tentang Panduan Penyusunan Kerja Sama Kepolian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan Nota Kesepahaman ini, maka polisi tidak bisa memeriksa wartawan perihal karya jurnalistik.
Jika jurnalis dipanggil penyidik, itu berarti penyidik tersebut telah melanggar Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “Dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum”.
Jika ada berita yang dipermasalahkan oleh pihak tertentu, maka akan diselesaikan melalui mekanisme sengketa pers sesuai aturan yang ditetapkan Dewan Pers dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Produk berita wartawan yang legal tidak dapat dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Bergitupun wartawannya tidak boleh diproses secara hukum, kalau memang informasi itu benar dan bukan fitnah.
Kesepakatan antara Dewan Pers dan Polri ini melindungi pemberitaan yang diproduksi perusahaan pers dan jurnalis yang diakui Dewan Pers.
Namun, jika permasalahan pers tersebut belum dapat diselesaikan melalui Dewan Pers, barulah dilakukan penegakan hukum sebagai pintu terakhir, setelah sebelumnya ditempuh upaya klarifikasi dan mediasi para pihak.
Dengan kata lain, jika mediasi mengalami jalan buntu, barulah diputuskan apakah penyelidikannya akan dilanjutkan atau tidak.
Walaupun sudah ada perlindungan hukum yang diberikan kepada jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalismenya, bukan berarti jurnalis bisa bebas sebebas-bebasnya dalam melakukan pemberitaan.
Dari sisi internal media, jurnalis merupakan profesi yang dituntut untuk memenuhi tiga kepentingan yakni kepentingan organisasi media, masyarakat dan industri/pasar.
Dengan demikian, pemberitaan yang dibuat jurnalis pada hakikatnya tidak bisa lepas dari faktor individu atau subjektivitas jurnalis dalam membuat sebuah berita.
Sebagai partikel bebas, seorang jurnalis dapat “berpihak” kemanapun dan kepada siapapun. Dengan kata lain ketajaman pena jrunalis dapat diarahkannya untuk menceritakan kebaikan ataupun keburukan suatu peristiwa atau seseorang tertentu.
Ketika dihadapkan pada pilihan keberpihakan tersebut, maka jurnalis harus mempunyai self censorship (sensor pribadi) dan tanggung jawab sosial dalam mengukur dan menilai arti dari sebuah laporan. Pengukuran sensor pribadi itu sendiri didasarkan pada kesadaran pribadi dan kode etik pers sebagai pegangan moral mereka.
Dalam kaitan ini kesadaran kode etik bukan sekadar dipahami secara harfiah sebagai aturan dengan berbagai sanksi, tetapi lebih merupakan prinsip atau komitmen mengenai baik-buruk atau benar-salah dalam masalah kemanusiaan yang dapat diterapkan dalam liputan yang objektif dan imparsial. Komitmen terhadap informasi berkualitas justru merupakan hakikat dari etika pers itu sendiri.
Self censorship sangat diperlukan ketika seorang jurnalis menentukan peristiwa-peristiwa yang akan dijadikannya topik berita. Jurnalis tidak hanya dituntut untuk menyajikan fakta secara proporsional, berimbang dan objektif. tetapi juga harus memperhatikan kebenaran dan dampak dari berita tersebut, kejujuran dalam melaksanakan tugas peliputan dan investigasi, termasuk memberikan liputan damai agar masyarakat dan narasumber tidak dirugikan.
Jurnalis juga harus menjaga unsur layak siar atau laku dijual. Namun sejalan dengan itu ia juga harus menjaga agar mutu tulisannya juga bermanfaat bagi masyarakat luas serta memperhatikan unsur hati nurani sebagai bentuk self censorship dalam pemberitaan,
Self censorship pada intinya adalah bentuk pegangan moral atau kebijaksanaan yang dibutuhkan khalayak media. Sensor dibutuhkan untuk menghadapi isu-isu sensitif. Self censorship pada akhirnya adalah sebuah bentuk pengingat bagi jurnalis atau siapa pun yang akan melawan arus kemanusiaan dan garis moral .
Diakhiri dengan diskusi Poto bersama Rekan Media Marsidi yang merupakan jurnalis Sinar Pagi dan Deni Jurnalis Reinkarnasi Tipikor kabupaten Muara Enim , Ketua Lembaga Galaksi Kabupaten Muara Enim , Iwan Rambang dan Timsus yang beranggotakan 8 hadir , Ketua DPK LAKRI kabupaten muara enim , Sumatera Selatan yang kebetulan juga silaturahmi dengan Pemerintah Kabupaten Muara Enim.(Mar)