Penulis : Sepri Antoni Sitopu,S.H / Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Menerjemahkan Hak Masyarakat Adat
Dalam konteks nasional, Indonesia lebih mengenal konsep “masyarakat hukum adat” dan diperlukan upaya untuk melengkapi konsep keragaman mengenai keberadaan masyarakat hukum adat sebagai sebuah fakta empiris yang ada di lapangan. Secara yuridis formil terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mencantumkan definisi masyarakat hukum adat, seperti pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, Secara konsep hukum dasar kita negara indonesia dalam hal ini pemerintah telah secara gamblang untuk melaksanakan dasar kontitusional yaitu yang tertuang pada Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 menyatakan bahwa kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta hak konstitusional masyarakat hukum adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya Namun sering kita temui banyak terdapat konfilik yang terjadi dalam peristiwa kalangan masyarakat adat harus terusir dari kedaiaman tanah adat (ulayat) tempat ia tinggal disebatkan oleh maraknya ekploitasi industri yang memanfaatkan banyak lahan seperti perkebunan, real estate, dan kawasan industri. Tentunya investasi yang masuk ke wilayah negara indonesia merupakan kabar baik dalam upaya menciptakan kesejahteraan dengan terciptannya lapangan kerja yang luas. Akan tetapi dalam upaya masuknya industrialisasi tersebut diperlukan pendekat maupun penyelesaian terhadap wilayah adat tersebut sehingga hak-hak terhadap masyarakat adat yang telah lama bermukin serta bertempat tinggal bisa terlindungi dengan baik. Padahal masyarakat adat tidak hanya terkait pada dimensi hukum saja, namun juga dimensi lainnya seperti dimensi sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi. Selain istilah masyarakat hukum adat tersebut dirasakan belum sesuai.
Adapun istilah lainnya yang digunakan di masyarakat yaitu masyarakat adat, komunitas adat terpencil dan masyarakat tradisional yang di anggap lebih umum istilahnya dibandingkan istilah masyarakat hukum adat. Hak masyarakat hukum adat penting untuk dipenuhi oleh negara, konteksnya dalam pemenuhan hak atas kesejahtaraan mayarakat hukum adat. Keberadaan masyarakat hukum adat harus diakui dan diperhatikan hak-haknya sepanjang memang masyarakat hukum adat dalam wilayah hutan tersebut dalam kenyataannya memang ada sehingga hak-haknya tidak termajinalkan (terpinggirkan). Dari definisi diatas jelas bahwa masyarakat hukum adat dengan pola kehidupannya memang berhak atas sumber kekayaan alam wilayah dimana mereka berada demi kelangsungan hidup kesatuan kelompoknya dan pemerintah wajib memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat sesuai Undang-Undang yang telah diatur dan ditetapkan dan masyarakat umum wajib menghormati hak-hak masyarakat hukum adat tersebut, sehingga masyarakat adat dan masyarakat umum dapat hidup berdampingan, tidak ada hak yang terlanggarkan.
Sikap dalam mengawal hak masyarakat adat
Pemerintah dituntut untuk dapat bersikap adil dan tidak boleh memperhatikan atapun hanya menguntungkan sekelompok tertentu. Masyarakat hukum adat itu sendiri pada dasarnya merupakan aset negara dengan segala kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kesatuannya. Apabila keberadaan masyarakat hukum adat itu dilupakan dan haknya terpinggirkan maka secara tidak langsung kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri akan lenyap berangsur-angsur karena wilayahnya berupa tanah dan hutan dan kekayaan alamnya sudah habis dieksploitasi oleh sekelompok orang tertentu. Dampaknya akan buruk baik bagi negara kita sendiri maupun pemerintah, dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat itu pun akan punah karena makin tidak ada tempat bagi mereka untuk melangsungkan hidup kesatuan masyarakatnya. Sering sekali kita mendengar banyak upaya masyarakat dalam melakukan upaya pembelaan terhadap tanah (tempat kelahirannya) yang sering di ekplotasi secara berlebih oleh para investor (pemilik konsersium) yang dalam menentukan zonasi batas pengunaan wilayahnya tidak secara gamblang merinci, sehingga upaya mengklaim secara sepihak ini lah, yang menjadi sengketa terhadap masyarakat terutama masyarakt adat yang sudah terun temurun menetap dan tinggal di wilayah itu.
Peristiwa Masyarakat Adat di Berbagai daerah
Dalam banyak peristiwa pada Persoalan yang terjadi tak hanya pada wilayah sengketa Peradilan (litigasi) saja, namun di perparah hingga eksekusi lahan di lapangan yang menciptakan pertentangan antar masyarakat dengan investor yang berujung konflik hingga membuat masyarakat banyak yang terluka bahkan harus berujung ke rumah sakit akibat persingungan tersebut. Konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat banyak terjadi dari mulai persoalan Kasus di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, kemudian Kekerasan yang dialami masyarakat adat yang mendiami hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan, Provinsi NTT serta untuk di wilayah sumatera utara terjadi Pada Kelompok Tani Maju Desa Ramunia, Kecamatan Pantailabu, Deliserdang, mengadukan pihak Kodam I Bukit Barisan ke Gubernur Sumut karena menutup akses petani ke lahan pertanian mereka. Yang kedua, para petani Desa Rambung dan Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, mengadu ke markas Polda Sumut karena dugaan kriminalisasi petani yang berkonflik dengan PT Nirvana Memorial Nusantara Dalam beberapa kesempatan upaya advokasi serta dukungan lahir dalam upaya mengawal agar tanah adat tetap di pertahankan seperti yang dilakukan oleh Sayogyo Institute, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). namun data menujukan jika konflik agraria juga terus terjadi serta terjadi di banyak daerah di indonesia tercatat terjadinya letusan konflik agraria sebanyak 2.710 kali yang didominasi oleh sektor pertanian dengan isu ketimpangan penguasaan tanah yang akut sekitar 8 tahun silam.
Kebijakan yang dicita-citakan masyarakat adat
Secara regulasi Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA/1960) yang lahir 63 tahun lalu, tepatnya 24 September 1960. Kelahiran UUPA membutuhkan waktu 12 tahun melalui perjuangan kaum tani Indonesia untuk mendokolonisasi hukum agraria yang dibuat Belanda sebelumnya. Seperti sangat sulit untuk melahirkan undang-undang ini, di tambah secara kontitusional sangat jelas bahwa masyarakat adat di lindungi oleh hukum. Akaj tetapi peraturan turunan seperti yang di suarakan oleh banyak pihak tentang RUU Masyarakat Hukum Adat cenderung sulit dibahas untuk ditetapkan. Bahkan konflik m?mengenai darurat agraria terjadi akibat liberalisasi agraria yang tercermin dari terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja serta kebijakan Bank Tanah, Food Estate, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan sebagainya. Menurut hemat saya berdasarkan studi empiris maupun ladasan teori dipertanyakan. Maka dari itu pemerintah harus konsen dalam isu-isu ini agar indonesia yang dikenal kaya dan beragam dalam adat istiadatnya tidak terdegradasi oleh kemajuan serta ekpoloitasi indusyru terhadap lahan-lahan yang menjadi wilayah adat. Sehingga diharpakan ada konsen serius oleh pemerintah yang harus secepatnya melakukan kajian menyeluruh dan mendalam atas dampak kerusakan lingkungan hidup dari beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di indonesia terutama yang secara gambalang menimbulkan sengketa oleh entitas masyarakat adat di indonesia. Dengan membuat payung hukum yang jelas serta kebijakan yang terukur maka konflik persoalan masyarakat adat dalam melestarikan maupun melindungi tanah ny bisa di minimalisir.